Selasa, 12 Oktober 2010

HUT PGRI KE-60 Guru Berkeluh Lewat Puisi, Wapres Emosi

Peringatan Hari Guru Nasional, ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia, dan Hari Aksara Internasional diperingati belasan ribu guru di Stadion Manahan Solo, Jawa Tengah, Minggu (27/11) dan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla. Peringatan itu diisi keluh kesah dan kisah guru yang dituangkan dalam puisi oleh pakar pendidikan Prof Dr Winarno Surachmad yang membuat Wakil Presiden emosi. Puisi yang dibacakan Winarno setelah pernyataan sikap yang disampaikan Sekretaris Jenderal PGRI Prof Dr Sumardi Taher berisi sepenggal sisi kelam pendidikan nasional dan nasib guru Indonesia. Di akhir setiap bait puisi, belasan ribu guru yang mengenakan seragam batik putih seperti juga dikenakan Wakil Presiden memberi respons dan bertepuk tangan seperti mengamini. ”Tanpa sebuah kepalsuan, guru artinya ibadah. Tanpa sebuah kemunafikan, semua guru berikrar mengabdi kemanusiaan. Tetapi dunianya ternyata tuli. Setuli batu. Tidak berhati. Otonominya, kompetensinya, profesinya hanya sepuhan pembungkus rasa getir,” ujar Winarno. ”Bolehkan kami bertanya, apakah artinya bertugas mulia ketika kami hanya terpinggirkan tanpa ditanya, tanpa disapa? Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam? Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluarsa? Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?” ujarnya disambut tepuk tangan meriah ribuan guru yang kepanasan di lapangan terbuka. Ketika puisi disampaikan, Wakil Presiden didampini Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dan Ketua Umum Pengurus Besar PGRI HM Surya sibuk mencatat bait puisi dengan selembar kertas dan pena di tangannya. Sesekali, Wakil Presiden menoleh bertanya. ”Ketika semua orang menangis, kenapa kami harus tetap tertawa? Kenapa ketika orang kekenyangan, kami harus tetap kelaparan? Bolehkah kami bermimipi di dengar ketika berbicara? Dihargai layaknya manusia? Tidak dihalau ketika bertanya? Tidak mungkin berharap dalam kondisi terburuk,” ujar mantan Rektor IKIP jakarta ini melanjutkan puisinya. ”Sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan oleh sejarah. Terbaca torehan darah kering: Di sini berbaring seorang guru semampu membaca buku usang sambil belajar menahan lapar. Hidup sebulan dengna gaji sehari. Itulah nisan tua sejuta guru tua yang terlupakan oleh sejarah,” papar Winarno dengan suara lantang mendayu. Unjuk rasa Usai puisi dibacakan, acara dilanjutkan dengan pemberian penghargaan kepada kepala daerah dan penganugarahan tanda kehormatan Satyalencana Karya Satya kepada beberapa guru yang telah menunaikan tugas profesionalnya selama 10 sampai 30 tahun. Di sela-sela acara itu, puluhan guru turun dari tribun menuju ke tengah lapangan membentangkan spanduk bertuliskan: Kami Butuh Kesejahteraan. Di bawah tulisan itu tertera tanda Keluarga Besar PGRI Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Dari atas podium, Wakil Presiden mencermati semua peristiwa itu yang kemudian dijadikannya bahan dalam sambutan yang disampaikan mengalir lantas diakhiri penuh emosi dengan jari telunjuk kanan diacung-acungkan ke arah para guru yang antusias mendengarkan hingga turun kedepan podium. ”Saya tadi membaca apa yang disampaikan (dalam spanduk-Red) bahwa kita berkumpul untuk kesejahteraan. Itu betul! Tujuan bangsa ini untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Bangsa yang makmur sejahtera hanyalah dapat diraih apabila kita punya kemampuan ekonomi yang baik,” ujarnya. Mendudukan persoalan dan posisi guru, Wakil Presiden mengemukakan, berdirinya bangsa ditopang juga oleh bermacam kegiatan dan profesi seperti tenaga kesehatan, pegawai negeri, polisi, dan tentara. Semua penopang itu sama penting dalam mengelola bangsa Indonesia yang besar, meskipun pada awalnya mereka semua dididik oleh guru. ”Kita tentu mengetahui arti UUD 1945. Tetapi semua dilaksanakan tahap demi tahap. Tidak mungkin langsung melompat karena semua juga harus kita laksanakan. Saya terharu mendengarkan sajak yang dikatakan Profesor Winarno. Di samping terharu, saya juga ingin menyatakan, kita juga harus landaskan pada kejujuran dan kenyataan," ujarnya dengan nada mulai meninggi. Jangan jelekkan bangsa Dengan nada terus meninggi sambil menacung-acungkan jari tangan kananya, Wakil Presiden berkata, ”Memang sekolah kita belumlah luks. Tetapi saya yakin, sekolah kita tidak seperti kandang ayam! Saya yakin, banyak sekolah jauh lebih baik dari pada itu... Saya yakin!” ”Gaji Anda memang belum cukup, tetapi saya yakin gaji Anda tidak hanya cukup untuk satu hari. Janganlah kita semua menjelek-jelekkan bangsa ini karena bangsa ini perlu semangat. Kalau Anda semua selalu megejek bangsa ini, siapa yang harus menghargai bangsa ini?” ujarnya bertanya dan membuat ribaun guru tertunduk terdiam. Wakil Presiden mengajak para guru optimistis menatap masa depan bangsa dengan bersama-sama bekerja keras untuk bangsa. Dengan kerja keras semua pihak, ekonomi akan membaik. Membaiknya ekonomi yang tentu akan diikuti dengan membaiknya gaji para guru yang memang tengah diperjuangkan oleh pemerintah. ”Tidak ada sesuatu yang bisa selalu hanya dengan aturan. Semua harus bekerja keras bersama-sama. Banyak hal teah dikerjakan meskipun masih banyak lagi yang harus dikerjakan. Saya yakin dengan kearifan para guru, kita semua dapat baik. Kita semua punya tanggungjawab untuk itu. Jika kita kerja keras, saya yakin tahun depan dan tahun berikutnya kita bisa lebih baik,” ujarnya disambut tepuk tangan meriah. Setelah pesawat rombongan mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, sambil berjalan menuju sedan yang membawanya, Wakil Presiden mengemukakan kenapa dirinya emosi dengan marah ketika memberi sambutan di hadapan ribuan guru di Solo. ”Saya tadi emosi. Masakan guru besar berbicara seperti itu. Menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Mengatakan sekolah kita seperti kandang ayam. Yang kita perlukan adalah pembangkitan semangat, bukan terus menjelek-jelekkan bangsa sendiri seperti itu,” ujarnya dengan tersenyum. Tahun lalu, dalam peringatan hari guru ke-11 dan pencanangan garu sebagai profesi di Istora Senayan, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hadir dalam peringatan itu juga marah melihat para guru berbicara sendiri karena tampaknya bosan mendengar janji-janji. Karena tidak didengarkan, Presiden sejenak menghentikan sambutan. Dengan raut muka memerah, Presiden meminta para guru mendengarkan sambutannya. ”Saya minta para guru mendengarkan sambutan saya!” pinta Presiden ketika itu. Atas permintaan Presiden Yudhoyono itu, seluruh guru lantas mengarahkan pandangan ke atas panggung tempat Presiden berpidato. Beberapa guru yang ada di balkon dan tengah berjalan bergegas meninggalkan Istora Senayan kembali duduk. Setelah tenang, pembacaan sambutan dilanjutkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar